Lebih awal dalam kesempatan ini, saya akan menyertakan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang hingga saat ini, bergumul dalam pemikiran setiap ada kesempatan untuk berfikir positif, tentang yang namanya budaya, terlebih lagi tentang budaya Kaili. Beberapa pertanyaan itu antara lain; Bagaimana kita akan mengetahui identitas orang?, Apa saja ciri yang khas untuk mengenali seseorang, dan kenapa orang harus mempunyai ciri identitasnya? Serta bagaimana jika seseoang kehilangan identitasnya?
Saya akan mengantar pemikiran kita tentang fenomena budaya kita yang cenderung ikut-ikutan. Sejauh mana kita mampu bertahan dengan budaya kita sendiri dalam kondisi survive, untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa kita dari golongan ini. Bukan golongan itu.
Sebelum lebih jauh tulisan ini anda baca, perlu saya tegaskan bahwa kata golongan di atas bukannya untuk mendikotomi atau memposisikan diri sebagai sesuatu yang eksklusif dari golongan yang lain. Namun merupakan sebuah konotasi yang menunjukkan kepada orang lain tentang identitas.
Sederhana saja kita akan membicarakan tentang identitas ini. Misalnya tentang nama, dari sebuah nama, kita akan mengetahui bahwa ia adalah seseorang dari suku bangsa tertentu. Karena didalam makna nama itu terkandung sebuah budaya dengan karakter khusus kenapa ia dinamakan seperti itu.
Misalnya dengan mendengar aksara O yang mendominasi pada nama orang Indonesia, kita akan mudah mengenal atau menebak bahwa orang itu adalah orang Jawa. Cokro Aminoto misalnya, empat aksara O di dalam namanya sudah menujukkan bahwa orang tersebut adalah berdarah Jawa.
Atau lebih spesifik lagi pada orang Bugis. Jika ada nama seseorang yang menggunakan nama depan Andi, kesimpulannya adalah bahwa orang tersebut dari kalangan masyarakat berdarah biru.
Dalam keberagaman budaya masyarakat yang mendiami daerah Sulawesi Tengah, saya belum pernah mendengar orang keturunan asli Manado yang menamakan anaknya dengan nama depan Andi atau Ambo. Sungguh belum pernah sama sekali..! yang biasanya adalah nama orang Manado itu tidak jauh-jauh dari Alfret, Raimond atau Neti.
Tentunya para orang tua sudah menentukkan sendiri tentang pemaknaan atas sebuah nama yang mereka berikan terhadap buah hatinya itu.
Begitu juga dengan identitas orang secara agama, orang Islam akan menamakan anaknya dengan nama depan Muhammad, atau orang Hindu dari suku bali Bali menamakan anaknya dengan nama depan Nyoman atau Made. Semua penamaan itu tentunya beralasan, baik secara budaya atau agama.
Beberapa paragraf di atas hanya sekedar pengantar yang juga sekaligus pembanding atas opini atau pendapat yang saya akan uraikan pada kesempatan ini.
Ada yang berbeda dengan suku yang mendiami sebagian besar daerah ini, yakni suku Kaili. Ada yang asyik untuk diapresiasi dari suku ini.
Di berbagai ruang aktifitas publik saya tidak menemukkan nama-nama dari golongan suku ini yang khas. Kalau pun dia dikenal berdarah Kaili, itu karna ia masih menggunakan nama belakang dari garis keturunan seperti fam. Misalnya Mulhanan Tombolotutu, atau Aminudin Ponulele.
Kebanykan diantara anak-anak Kaili yang lahir pada awal dekade 30an hingga 2000an tidak lagi menggunakan nama yang khas dari etnis Kaili. kalau pun ada, itu hanya nama belakang atau nama panggilan saja, misalnya seorang teman di kampung yang namanya Yusran (lahir pada tahun 63). Dalam panggilan akrabnya Lapa. Yang anehnya seorang teman ini, ia tak mau dipanggil nama Lapa saat berada di tempat umum. Entah kenapa...?
Sebenarnya ada yang khas yang perlu ditonjolkan dari orang Kaili tentang penamaan. Karena dalam bahasa kaili, mempunyai aturan normatif tersendiri unuk menujnujkan ciri identitasnya. Terhadap kata-kata dalam bahasa Indonesia yang diserap karena tidak adanya kata yang sepadan pemaknaannya dalam bahasa kaili, itu selalu terjadi penambahan dan penguranagan bunyi.
Karakter bahasa Kaili dalam setiap kata-katanya, selalu menolak pengucapan yang di dalamnya ada dua huruf konsonan yang saling mengikuti. Itu sangat tidak bisa diterima dalam pengucapan bahasa Kaili. yang terjadi kemudian adalah penambahan atau bahkan pengurangan.
Misalnya, kata Trek (mobil truk) menjadi Terek, Kriting (rambut) menjadi Kariting dan lain sebagainya. Namun pada kasus ini terdapat pengecualian seperti bertemunya huruf n dan g misalnya kata Tangga tidak berubah dalam pengucapan pada bahasa Kaili. Hal ini dapat diterima. Karena dalam ilmu fonologi (ilmu bunyi) ketika huruf n dan g bertemu tidak dikategorikan dalam huruf konsonan, melainkan sebuah kesatuan bunyi yang bisa dikategorikan menjadi huruf vokal (nasal sound).
Ada juga karakter yang lain, misalnya Sepatu menjadi Sapatu, Sekolah menjadi Sikola, Mesin menjadi Masina dan lain sebagainya. Itu karena dalam bahasa kaili tidak terdapat fonem é. Seperti yang ada pada bahasa melayu.
Keunikkan lainnya dalam bahasa Kaili adalah tidak mengenal huruf konsonan pada akhir kata. Jika itu ada, maka kata tersebut menjadi berubah dengan dikurangi atau ditambahkan. Misalnya Qur’an menjadi kora’a, Motor menjadi Motoro, Senter menjadi Sentere dan sebagainya.
Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kenapa dalam konteks penamaan orang, bahasa Kaili menerima atau mengadopsi secara mentah nama-nama yang bukan sebagai identitas etnik dari bahsa Kaili.
Misalnya nama Suhudin diadopsi dengan tanpa perubahan menjadi Suhudi atau, Sahril menjadi Sahari. Aneh bukan? Padahal jika terjadi perubahan justru akan menjadikan sesuatu yang beda dengan pemaknaan tersendiri dan membuat orang lain dapat mengidentifikasi nama-nama itu sebagai orang Kaili.
Untung saja dalam pengucapan, kita masih dengar para orang tua kita sering mengupkan nama-nama tersebut dengan gaya bahasa berdasarkan karakter atau ciri bahasa kaili. mengucapkan Suhudi, bukan Suhudin.
Bukankah jika kita mengadopsi sesuatu yang baru, akan menjadi khasanah yang baru pula dalam kekayaan budaya? Sehingga tidak terjadi proses pengimitasian atau sengaja mengimitasikan diri dan tidak ada yang dirugikan dari proses akulturasi kebudayaan.
Mengutip bahasa dari salah seorang sosiolog dan juga sejarawan Iran, Ali Shariati. Ia mengatakan bahwa “Seseorang atau suatu masyarakat yang kehilangan identitas, akan cenderung memalsukan diri menjadi pengonsumsi budaya-budaya lain yang ia anggap lebih baik”
Indonesia pada masa sekarang ini telah diancam dengan fenomena tersebut, padahal kita mempunyai banyak kearifan lokal yang bisa menujukkan identitas budaya kita sendiri. Budaya konsumeritas kita, sudah merambah bukan hanya pada tatanan materi, namun sudah lebih dalam pada tatanan nilai budaya.
Harus diakui bahwa bangsa kita mempunyai budaya konsimtif yang tinggi. Apa saja kita terima dari luar, tanpa proses penyaringan atau selektif, pun hal itu justru membuat kita kehilangan identidas diri.
Demikian juga halnya dengan suku Kaili. Contoh kasus dalam hal penamaan di atas menunjukkan bahwa ada ancaman terhadap identitas suku kaili itu sendiri saat ini, terlebih lagi pada masa mendatang.
Mari kita melihat lebih dekat dalam lingkungan keluarga kita sebagai orang kaili, seberapa banyak para orang tua kita menamakkan anak-anak mereka menggunakan karakter bahasa Kaili. kalau pun ada, itu hanya segelintir saja, dan mereka itu hanya kita dapatkan di kelompok-kelompok tertentu saja seperti mereka yang jauh dari sentuhan moderenitas kota ini.
Kebanyakan orang tua kita lebih tertarik kepada seorang artis atau tokoh tertentu dalam penamaan anakya. Bukankah itu salah satu bagian dari proses mengimitasi diri?.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya mempunyai pertanyaan sederhana, untuk mengetahui bahwa kita masih bangga atau tidak terhadap budaya kita.
Mana yang akan anda pilih, jika saya memberikan dua lembar sarung, yakni sarung Donggala atau sarung merek lain yang juga sama dari segi kualitas dan harga. Sarung manapun yang anda pilih, itu bisa menunjukkan bahwa anda telah memilih untuk menentukkan sebagai siapa anda.
Penulis adalah pemerhati budaya Kaili yang juga adalah Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Silo Langi FKIP UNTAD.
MENGEMBALIKAN CIRI IDENTITAS ETNIS KAILI, DI TENGAH KEBERAGAMAN BUDAYA Oleh ; Sahril
Written By riluation on Senin, 06 Oktober 2008 | 05.39
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
mantappp broo
Posting Komentar