“Tolong Dinda, ini masalah reputasi, institusi dan keluargaku,”
Sms pak Arland membangunkan Susi dari tidur siangnya. Buru-buru ia mengambil tas dan membasuh wajahnya dengan air seadanya, dan bergegas memacu sepeda motornya menuju kantor.
Setibanya di kantor, rapat liputan sedang berlangsung. Menjaga agar kehadirannya tidak mempengaruhi situasi, Susi mengambil jalan belakang dan muncul dari ruang redaksi. Kehadirannya tak dihiraukan. Situasi rapat yang alot tak terusik dengan kehadirannya. Beberapa rekan wartawan terlihat sedang alot berdebat soal liputan besok.
Lima menit telah berlalu, Susi tak berkata-kata. Matanya liar melirik kiri-kanan, kearah rekan-rekannya yang saling melempar argumen. Sesekali bola matanya memelototi pak Suryo, redaktur pelaksana, yang sedang asik mengotak-atik leptop. Seolah di ruang lain, pak Suryo juga tak menghiraukan perdebatan dalam rapat itu.
*****
“Semua itu terjadi tanpa sengaja, saya tak punya niat sama sekali. Saya anggap dia seperti anak sendiri,” kata pak Arland kepada tim penyidik.
“Tolong bapak ceritakan sedikit kronologisnya,” pinta sang penyidik.
“Malam itu kami jalan bersama. Sudah janjian memang, tapi ketemunya di rumah saya. Karena saya ketemu sejak sore di swalayan sama dia, maka saya langsung tawarkan, biar dia tidak datang malam, karena di rumah ada tamu,” sejenak terdiam.
“Tapi saya liat dia waktu itu agak kurang semangat. Mungkin karena capek seharian di kampus. Pas saya tawarkan jalan-jalan ke pantai, dia juga mau. Di pantai, kami hampir tiga jam. Waktu itu sudah mau magrib. Dia juga belum bawa skripsinya. Katanya, dia berencana nanti malam baru kerumah saya,” hening kembali mengisi seisi ruangan. “Waktu magrib sudah lewat, kami masih di pantai. Pas saya ajak pulang, dia belum mau. Katanya dia lagi bingung, ada masalah keluarga katanya. Pas saya tanya, dia juga diam, dia tidak mau bicara tentang masalahnya,” kata pak Arland, dengan kepala sedikit tertunduk.
“Langsung saja pak, jangan bertele-tele, dimana kejadiannya” tegas sang penyidik
“Kami main di mobil, waktu itu kalau tidak salah jam 10. Pas selesai, saya antar dia pulang. Dia juga sepertinya tak keberatan, dia hanya diam ko,” tambah pak Arland, dengan nada lembut dan santai.
Meski begitu, alat perekaman milik Susi, dengan jelas menangkap semua hasil pemeriksaan itu. Tak ada wartawan lain di ruangan itu, hanya mereka bertiga. Memang hanya Susi yang dikabari tim penyidik, karena benar korban dan pelaku adalah kenalannya. Bukan hanya sekedar kenalan biasa, tapi korban adalah adik teman akrab Susi. Sementara pak Arland adalah rektor dan sekaligus dosen walinya.
“Tolong Sus, kamu bantu saya. Adikku itu anak baik-baik, sama dengan adik perempuanmu. Mereka punya cita-cita, punya harapan, punya masa depan,” sms Norma membuyarkan lamunan Susi yang sedang mendengarkan hasil rekaman.
Tak lama berselang, handphone Susi kembali berdering. “Dinda, tolong saya, berapa yang kamu minta, kalau kamu anggap kurang, nanti saya usahakan lagi, tolong sms nomor rekeningnya,” begitu pinta sang rector, lewat sms.
Susi masih membisu. Bibirnya kelu, wajahnya merah jambu, tangannya keringatan, padahal suhu di ruangan itu cukup sejuk.
“Susi, hari ini dapat berita apa?,” tanya pak Suryo dengan nada lantang.
Belum sempat Susi menjawab pertanyaan itu, handphonenya kembali berdering.
“Dinda, saya tau kamu, kamu juga tau bagaimana pergaulanku. Saya tidak mengancam, tapi saya ingin masalah ini tidak diekspose. Kamu masih mau hidup lama kan?,” kembali Susi membaca sms pak Arland.
Susi tak sadar, kalau situasi lagi hening, dan semua pandangan mengarah padanya. Ia menengadahkan kepala. Hayalannya melambung tinggi, hanya ada wajah Norma, pak Arland dan adik Norma yang terbayang di ujung pandangannya. Ia tak menghiraukan situasi saat itu. Susi menghela nafas panjang.
“Cobaan apa lagi ini, ya Allah, tolong saya,” doanya dalam hati
Pikirannya berkecamuk, kedua sms yang baru dibaca, terus membayangi alam sadarnya. Dua menit berlalu, ia belum juga menjawab pertanyaan pak Suryo.
Memang, uasi mengikuti proses pemeriksaan pak Arland, Susi langsung kembali ke rumah. Tak ada berita lain yang ia liput hari itu, kecuali kasus sang rektor. Dalam keheningan, Susi sempat terperangkap dengan sms pak Arland. Dia teringat, perkataan ibu kostnya pagi tadi. “Susi, tolong diperhatikan pembayaran kostnya, sudah lima bulan lo. Kemarin sudah ada orang lain yang mau masuk juga,” kata ibu kost, yang masih terekan jelas dalam ingatan Susi.
Bukan hanya itu, Susi juga teringat dengan sms kakaknya beberapa waktu lalu. “Sus, alhamdulillah, si Anto lulus. Dia mau kuliah,” demikian sms kakaknya.
Tanpa sadar, satu demi satu buliran air bening menetes dari sudut matanya. Tak ada yang bisa menebak suasana hati Susi saat itu. Semua yang ada di ruangan, sedang asik ngobrol satu sama lain. Untung saja, perhatian pak Suryo sempat buyar dengan kehadiran pak Ahlis, teman lamanya yang baru kali itu bertemu.
Tanpa basa-basi, susi langsung bersuara, dengan alasan kalau dirinya lagi ditunggu kakaknya di ruang UGD. “Maaf pak, saya harus ke rumah sakit sekarang,” katanya terburu-buru.
Tingkah Susi seakan menghipnotis semuanya. Tak ada yang tau kalau dia sedang bermain peran. Semua pandangan mengiringi kepergiannya.
Antara Kasih Sayang, Darah dan Rupiah
Written By riluation on Selasa, 17 November 2009 | 07.13
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
salam kenal saya dari malakosa.klik situs kami http://malakosa.uiwap.com
dan http://adyarta.blogspot.com
salam kenal balik, sy akan kunjungi
Posting Komentar