Basri (42) hanya bisa nanap nanar ke arah puing-puing bangunan losnya. Tatapannya kosong, hampir tak ada harapan di wajahnya. Sudah taiga hari sejak kebakaran menimpah warga kompleks Pasar Masomba, Basri tak jua mengganti pakaiannya. Bukannya ia malas atau stress, tapi benar, ia tak punya pakaian ganti. Sebab, saat si jago merah melalap ratusan los dan rumah di Pasar Masomba, ia hanya bisa menyelamatkan diri. Tak ada satu pun barang-barang miliknya yang terselamatkan. Kini Basri beserta isteri dan ketiga orang anaknya terpaksa mengungsih di rumah kakaknya, di Jalan Elang. Setelah beberapa saat terjadi kebakaran, Pria asa l Selawesi Selatan ini hanya bisa bersyukur, karena semua keluarganya selamat.
Isak tangis Basri sesekali terlepas, saat memberi keterangan kepada Media Alkhairaat di lokasi kejadian (18/10). Buliran air bening yang menetes dari sudut matanya, tak kuasa ditahannya. Meski begitu, ia tetap berusaha tabah menjalani cobaan yang menimpahnya.
“Saya bersyukur, tuhan masih menyelamatkan keluarga ku. Mungkin ini cobaan bagi kami, saya dan keluarga pasrah saja menerima kenyataan ini,” kata Basri, tersedu-sedu.
Untung saja, anak pertama Basri telah menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Sementara kedua anaknya yang masih duduk di bangku SMP dan SD, bisa kembali bersekolah setelah mendapat bantuan dari kerabat.
Basri hanyalah salah satu koban kebakaran di Pasar Masomba. Masih ada puluhan kepala keluarga lainya yang mengalami nasib seperti Basri. Kebakaran bukan hanya berdampak pada traumatis Basri dan kawan senasibnya, tapi juga pada masyarakat Kota Palu lainnya.
Kebakaran yang terjadi hampir setiap hari dalam sepekan terakhir, juga membuat puyeng pemerintah Kota Palu. Kebakaran seolah menghantui semua warganya. Bayangkan, Selasa (20/10) kemarin, ada tiga insiden kebakaran yang terjadi hampair pada waktu yang bersamaan. Ini terjadi di kantor TVRI Sulteng, Pasar Inpres Manonda dan Desa Labuan Induk, Kabupaten Donggala.
“Kita juga pusing, tiada uang tasimpan, masuk dari retribusi langsung dikeluarkan lagi untuk bantuan kebakaran,” kata Wlikota Palu, Rusdy Mastura Kamis (22/10) usai mengikuti rapat koordinasi dengan Pemerinath Provinsi Sulteng.
Sebelum Selasa, si jago merah sudah beraksi beberapa hari sebelumnya. Di Pasar Masomba (16/10), api melalap 419 kios permanen, 10 kios non permanen, 100 kamar indekos dan dua rumah mewah yang terletak di sekitar pasar Masomba, ludes terbakar. Sumber api diduga berasal dari hubungan arus pendek listrik. Seolah drama seri, kebakaran pun berlanjut. Senin (19/10), si jago merah kembali beraksi di Jalan Karajalemba, Palu Selatan, sekitar pukul 11:00. Kali ini, sedikitnya sembilan rumah kontrakan, satu rumah ibadah, tiga mobil dan gudang penyimpanan kayu, hangus terbakar.
Kebakaran Paling Sedikit Tiga Kali Dalam Sebulan
Amukan si jago merah dalam kurun hampir setahun terakhir, paling sedikit tiga kali dalam sebulan. Berdasarkan data insiden kebakaran dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kebakaran Kota Palu, ada sedikitnya 78 peristiwa kebakaran yang terjadi di Kota Palu hingga bulan ini. Pada bulan Januari, ada tiga kasus, Februari lima, Maret sebelas, April empat, Mei tujuh, Juni empat, Juli 10, Agustus 9 dan September sembilan belas kali. Sementara untuk bulan ini, ada sekitar enam insiden kebakaran, sudah termasuk insiden paling banyak menelan kerugian, yakni kebakaran Pasar Masomba. Dari hampir semua insiden kebakaran, diduga adalah kelalaian masyarakat. Sementara untuk insiden Masomba, hingga kini belum ada keterangan resmi dari pihak Kepolisian Daerah (Polda) Sulteng.
“Kebakaran ini hampir tidak bisa diatasi. Setiap bulan pasti ada. Bahkan minggu kemarin, bisa jadi tiga kali sehari. Sebenarnya ini menjadi bahan kajian bagi Pemda,” kata Faturrahman Mansyur, dosen Arsitektur Universitas Tadulako (Untad).
Menurut Faturrahman, jika dikaitkan dengan dinamika pembangunan kota, insiden kebakaran merupakan satu hal yang menjadi pertimbangan dalam menyusun rencana strategi pembangunan. Meski begitu kata dia, peran masyarakat juga sangat dibutuhkan. Sebab kota adalah milik masyarakat, sementara pemerintah adalah pembina.
“Jika situasi kebakaran terus berlanjut dan tak ada antisipasi pemerintah, maka bisa dikatakan pemerintah tidak berhasil melakukan pembinaan. Ini hanyalah indikator kecil untuk mengukur keberhasilan pembinaan, masih banyak hal-hal lain yang perlu dilihat, seperti penataan ruang kota, fasilitas umum, penataan lalu lintas, pendirian bangunan, ketersediaan hak-hak dasar masyarakat dan lain sebagainya,” jelas Faturrahman.
Armada Pemadam Masih Kurang
“Kita punya mobil kebakaran hanya ada delapan, di Palu Barat satu, Palu Utara satu, sementara sisanya ada di induk sini,” kata Sudirman, Kepala UPT Pemadam Kebakaran Kecamatan Palu Utara, Sudirman, Jumat (23/10).
Hingga kini kata dia, hanya ada lima armada yang bisa beroperasi. Sementara tiga unit lainnya rusak dan dalam proses perbaikkan. Saat disinggung tentang kondisi armada tersebut kata Sudirman, semuanya dibeli oleh pemerintah dalam kondisi second (bekas). Sehingga menurutnya, kondisi tersebut juga mempengaruhi prosesi kerja mereka.
Di UPT Palu Utara sendiri kata Sudirman, sarananya masih kurang. Tak ada sambungan telepon atau alat komunikasi cepat lainnya. Untuk menyiasati hal itu, terpaksa dirinya menyebarkan nomor ponsel pribadinya kepada masyarakat.
Hal yang sama juga dikatakan Berto, pegawai yang bekerja di UPT Pemadam Kebakaran Induk Palu Timur. Ia mengakui, pihaknya juga dalam kondisi terbatas untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan itu.
“Kita juga sudah cukup berusaha, tapi semuanya tergantung anggaran,” kata Berto
Sementara menurut dosen Arsitektur Untad, Iwan Setiawan Basri, mengatakan, sebuah kota harus memiliki pos-pos pemadam kebakaran. Hal itu kata dia, bisa dilakukan dengan beberapa pendekatan, yakni pendekatan kepadatan, dengan cara berhitung jarak dan jumlah penduduk, atau melalui pendekatan kecamatan atau kelurahan.
“Kalau pendekatan jarak, untuk satu pos, jaraknya maksimal 7,2 kilo meter. Sementara pendekatan jumlah penduduk, harus ada satu pos untuk daerah pemukiman yang jumlah penduduknya sebanyak 19 ribu jiwa. Kalau yang lebih mudah, bisa dilakukan pendekatan kelurahan, atau kecamatan. Kalau kecamatan, harus ada satu pos. Begitu juga dengan kelurahan, harus ada satu pos. Ini hitung-hitungan kalau armada kurang,” kata Iwan, dosen matakuliah lingkungan perkotaan ini.
Menurut Iwan, respon pemadam kebakaran harus paling lambat dua menit. Artinya, kalau mengacu pada standar nasional penanggulangan kebakaran, pemadam kebakaran sudah ada di lokasi sebelum dua menit berlalu. Menurutnya, kondisi tersebut juga masih sulit diwujudkan, sebab ada faktor lain yang juga menjadi hambatan, seperti kondisi lalu-lintas dan lain sebainya
Selain memakasimalkan armada kebakaran, kata Iwan ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah. Diantaranya membuat hydran di setiap bangunan fasilitas umum, kantor pemerintah, pasar dan pemukiman padat penduduk.
“Kalau dikantor pemerintah, hydran ditempatkan antara jarak 30 hingga 40 meter untuk satu unit,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Tata Ruang Kota, Palu, Robby Siwi mengakui belum adanya system hydran pada bangunan-bangunan penting di Kota Palu, disebabkan oleh kondisi air yang kurang baik. Jangankan untuk antisipasi kebakaran, untuk kebutuhan sehar-hari, kata dia masih kurang.
“Saya pikir hal itu sangat ideal, tapi sayang, kondisi air kita juga masih belum stabil. Kejadian kebakaran beberapa minggu ini, juga disebabkan kondisi cuaca,” kata Robby, kepada Media Alkhairaat Jumat (23/10) di kantorntanya.
Bagimana Kondisi Tata Rang Kota Palu?
Terkait dinamika perkembangan Kota Palu dengan segala permasalahannya, sejumlah akademisi menilai perlu adanya upaya penataan dan penetapan peraturan yang tegas.
Asyra Ramadanta, dosen Urban Design Jurusan Arsitektur Untad mentakan, khusus untuk wilayah perekonomian di Kota Palu, perlu adanya penataan untuk menghindari penumpukan konsentrasi aktifitas.
“Kalau dari tinjauan akademik, kondisi Jalan Wolter Monginsidi itu perlu dilakukan pembenahan. Semestinya pemerintah harus menarik konsentrasi aktifitas perekonomian ke luar kota. Sehingga tidak terjadi penumpukan,” kata Asyra.
Meski begitu kata dia, perlu dikaji lagi tentang kondisi terkini kawasan Jalan Monginsidi, khususnya di wilayah Masomba, dari sudut pandang sosial ekonomi. Menurutnya, selama ini, banyak aturan-aturan yang diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat terkait peruntukan lahan.
Sementara itu, jika ditinjau dari segi resiko bencana, kondis Masomba sangat rentan. Berkaitan dengan hal itu, Fuad Zubaidi yang kesehariannya mengajar mata kuliah lingkungan dan perilaku masyarakat mengatakan, perlu adanya penataan pemukiman yang berbasis antisipasi bencana.
Dalam Undang-undang nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan kata dia, ada empat aspek yang harus dipenuhi, yakni keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kemudahan. Menurut Fuad, rata-rata pendirian bangunan di Kota Palu, hanya memenuhi satu unsur kenyamana saja. Terkait dengan insiden kebakaran di pasar Masomba kata Fuad, ada beberapa aspek yang terabaikan yang menyebabkan sulitnya proses evakuasi.
Kondisi bangunan yang sangat rapat dan kecilnya aksesibilitas ruang kata dia, membuat mobil pemadam kebakaran sulit melakukan pemadaman.
Menaggapi hal itu, Robby Siwi mengaku sudah melakukan komunikasi dengan pemilik tanah yang disewakan di Kota Palu, untuk memberi pembimbingan terhadap kaidah-kaidah pembangunan. Sebeb menurutnya, rata-rata pemukiman padat penduduk di Kota Palu, bukanlah ditempati pemilik lahan, tapi disewakan terhadap pihak lain. Sehingga bangunan-banguna tersebut tidak memilki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Kami sudah melakukan pendekatan dengan pihak pemilik lahan, agar mengawasi setiap pembangunan rumah tinggal semi permanent di atas tanah sewa,” kata Robby.
Terkait persoalan kebijakan-kebijakan tentang tata ruang, Iwan mengaku sempat dilibatkan dalam setiap penggarapan peraturan-peraturan tentang tata ruang. Meski begitu kata dia, tak banyak dari peraturan itu yang diterapkan secara tegas.
“Kalau tidak salah tahun 2006, Kota Palu sudah mempunyai Rencana Induk Kebakaran Kota. Tapi sampai saat ini tidak jelas penerapannya,” katanya.
Dalam rencana induk kebakaran tersebut kata dia, sudah mengatur tentang penetapan zona-zona rawan kebakaran. Zona-zona tersebut tambah Iwan, diantaranya adalah pasar, pemukiman padat penduduk, lokasi perkantoran, pendidikan dan fasilitas umum lainnya yang menyedot konsentrasi masyarakat.
Sementara Robby, mengaku pihaknya sudah menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang baru. Rencananya, dokumen tersebut sudah digodok di DPRD Kota Palu pada November mendatang.
“Dalam dokumen itu, kami sudah menyusun rencana-rencana strategis terkait pengembangan kota. Tentunya RTRW juga mengakomodir persoalan bencana,” kata Robby. (Sahril)
Palu, Dalam Cengkraman Hantu Kebkaran
Written By riluation on Selasa, 17 November 2009 | 07.06
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar