Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Ada Damai di Kulawi

Written By riluation on Senin, 07 September 2009 | 10.28

Hidup berdampingan diantara perebedaan Suku, Agama, Ras dan antara Golongan (SARA), tak menjadi penghambat bagi masyarakat Kulawi, dalam menjalani kehidupah sehari-hari, baik dalam aktifitas sosial maupun aktifitas keagamaan.

Kulawi yang secara administratif berada di wiyahah kabupaten Sigi saat ini, adalah bahagian dari daerah penyuplai bahan pangan khususnya palawija terbesar bagi kabupaten Donggala, saat masih bersama-sama hingga beberapa bulan lalu.

Dengan pendekatan hukum adat yang masih kental diklangan masyarakat Kulawi, dinamika kehidupan sosial antar uman beragama dengan mudah diwujudkan. Perwujudan itu sudah sejak lama dimulai, terhitung sejak ratusan tahun lalu, saat pemerintahan kerajaan Kulawi masih berjalan.

Bagi masyarakat setempat, perbedaan agama bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk berinteraksi sebagai mahluk sosial, yang satu sama lain saling membutuhkan dalam mengisi kehidupannya.

Ini adalah bukti, dimana sebuah daerah yang masih menggunakan hukum normative para leluhur, bisa menjamin kehidupan yang aman.

Bukti dari suasana toleransi dalam kehidupan masyarakat Kulawi, dapat kita temui saat perayaan hari-hari besar keagamaan yang setiap tahunnya diperingati. Meskipun warga muslim adalah kelompok minoritas dalam masyarakat Kulawi, namun warga kristiani tak luput melibatkan mereka dalam kepanitiaan pada acara-acara keagamaan. Demikian juga sebaliknya.

Bagi para pendatang, mungkin sulit menerima kenyataan itu, apalagi mereka yang daerahnya merupakan bekas konflik Sara.

Pada perayaan mauled nabi Muhammad SAW kamis (26/3) kemarin misalnya. Pemuda-pemudi dari kalangan nasrani pun turut ambil bagian dalam kegiatan tersebut. Menjadi panitia, atau bergabung dalam mengisi acara kesenian, sudah menjadi pemandangan biasa dalam setiap perayaan upacara keagamaan.

Dalam kesempatan itu, beberapa pemuda kristiani didandani layaknya kaum muslim pria. Menggunakan kopiah, baju muslim dan menampilkan kesenian jepeng di atas panggung, menjadikan semua hadirin melebur dalam suasana persaudaraan yang akrab.

Saat situasi konflik Sara di Poso bergejolak, pada tahun 2000 silam, masyarakat Kulawi dikhawatirakan untuk terpicu juga. Namun pemuka adapt dan pemuka agama kala itu, langsung mengantisipasinya. Mereka bersama-sama membuat kesepakatan yang pouler dikalangan masyarakat, yakni “Momepanimpu”, yang artinya hidup damai dalam situasi saling menghargai satu sama lain, untuk menjalin persatuan dan kesatuan. Hingga saat ini slogan itulah yang menjadi lambang corak umat beragama yang ada di Kulawi.

Di Kulawi, tak ada sekat-sekat antara masyarakat pendatang dan penduduk asli, pemeluk agama satu dengan yang lain, suku satu dan lainnya.

Kata ketua pengurus cabang Alkhairaat kulawi, Abdul Rahman Razak, di Kulawi situasinya sama seperti sebuah rumah, yang di dalammya terdiri dari dua agama.

“Sulit menemukan celah dalam toleransi yang kami bangun. Karena antara satu dan lainnya adalah saudara. Saya punya banyak saudara yang narani, demikian juga dengan mereka,” ungkap Razak.

Sebagai kecamatan yang berkemang, dinamika kriminal juga turut mewarnai kehidupan di Kulawi. Namun skalanya sangat kecil, paling juga hanya perkelahian antara pemuda.

Menurut Razak, persoalan itu tak terlalu banyak melibatkan orang dalam penyelesaiannya. Cukup diserahkan kepada yang berwajib, masalahnya sudah selesai. Sementara untuk pelanggaran-pelanggaran asusila lainnya, terkadang harus melibatkan tokoh adat.

Sementara Camat Kulawi, Fredi L. Djaru mengatakan, bahwa daerah yang ia pimpin itu, saat ini menjadi kecamatan percontohan untuk penerapan toleransi antar umat beragama, oleh pemer intah pusat dan daerah Sulawesi Tengah.

Pernyataan itu selalu disampaikannya saat memberi sambutan pada acara-acara resmi yang mendatangkan tamu dari luar Kulawi, seperti halnya pada perayaan Maulid kamis kemarin.

Menurut salah seorang guru di SMU Negeri 1 Kulawi, yang namanya tak mau dikorankan. Disekolahnya presentasi antara siswa muslim dan nasrani, berbanding 40, 60. Artinya lebih banyak yang nasrani dari yang muslim.

Potensi itulah yang mendorongnya melakukan pembinaan kegiatan-kegiatan kesenian di kalangan siswa. Melalui gerbang pendidikan, ditanamkanlah nilai-nilai agama, moral dan sikap tenggang rasa. Sehingga jaminan atas kelangsungan hidup masyarakat yang harmonis dana perbedaan Sara, dapat terwujud. (Sahril)

0 komentar: