Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Ny. Sima; Jangan Sampai Generasi Buta Huruf

Written By riluation on Senin, 07 September 2009 | 10.47

Palu- Kepedulian atas pendidikan bagi warganya, membuat Ny. Sima (35) warga dusun V Kawere-were, Desa Rejeki Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala ini bertekad untuk menetap di kawasan yang sempat di timpah musibah tanah longsor dan banjir pada bulan Agustus 2008 silam.

Meskipun hanya bermodalkan ijazah Pendididakan Guru Agama Negeri (PGAN) yang sekarang diganti menjadi Madrasah Aliah Negeri (MAN) pada tahun 1990, ibu beranak 2 ini tetap menjaga komitmennya untuk berbakti pada negara dalam mencerdaskan anak bangsa.

Kepada Media Alkhairaat, pada akhir pekan lalu ia mengutarakan kisah hidupnya itu di salah satu kelas jauh Sekolah Dasar Inpres Rejeki.

Sebelumnya, saat di Kabupaten Bone dulu, ia bersama sang suami bekerja sebagai petani, karena keinginan suami untuk merantau dan merubah nasib, Ibu yang dikenal oleh para warga sangat ramah ini, hijrah ke Sulawesi Tengah, tepatnya di Kecamatan Palolo pada tahun 2004.

”Karena dibilang suami untuk merubah nasib, makanya saya ikut untuk datang kesini, katanya di sini lebih baik” Kata Sima

Sesampainya di Desa Rejeki, Ibu berjilbab ini langsung mendaftar ke Sekolah Dasar (SD) Inpres Rejeki untuk mengabdi. Ia sempat mengajar di sekolah tersebut selama beberapa bulan, sambil menunggu sang suami membuka laha perkebunan.

Setelah mendapat izin pembukaan kelas jauh dari Kepala Cabang Dinas (Kacabdis) Pendidikan dan Pengajaran Kecamatan Palolo pada tahun 2007, ia bersama suami dan dua orang anaknya pindah ke Dusun V Kaweer-were yang jaraknya kurang lebih 10 kilo meter dari Desa Rejeki.

Disitulah ia memulai karirnya sebagai guru daerah terpencil yang hingga kini ia lakoni. Saat itu, sekolah yang ia tangani baru dua kelas. Atas kerjasama para warga dan aparat dusun, sekolah yang terbuat dari bahan bambu dan atap rumbiah itu, berjalan selama setahun. Sudah satu generasi yang sekolah hingga kelas 3 di sekolah kelas jauh itu.

”Dulu sekolah kami di sana, dekat kebun jagung itu. Saya membagi satu papan tulis itu menjadi 2, sehingga bisa digunakan untuk 2 kelas” Ungkap Sima, sambil menunjuk bekas lokasi sekolahnya dahulu.

Kata Sima, setiap muridnya harus mengeluarkan biaya sebesar 250 ribu rupiah per bulan untuk biaya transportasi ojek ke sekolah, pasalnya tempat tinggal mereka berjauhan tersebar di kebun masing-masing, sementara jalan yang licin dan menanjak, membuat para orang tua takut melepas anaknya untuk berjalan sendiri ke sekolah.

Sebelum tinggal di sekolah baru tersebut, Ibu Sima bersama keluarganya tinggal di kebun. Namun karena bencana banjir dan tanah longsor yang menimpah dusun mereka pada tanggal 24 Agustus 2008 silam. Rumah yang mereka tinggali di kebun itu, roboh tertimpah kayu dan tertimbun tanah.

Karena bencana itu juga, ia bisa lebih legah untuk melaksanakan tugasnya sebagai guru kelas jauh. Pasalnya dari kejadian itulah datang bantuan dari salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat di Sulawesi Tengah dan organisasi peduli bencana asal jakarta, yang memberikan anggaran pembangunan sekolah mereka.

”Dulu, waktu sesudah bencana, ada orang LSM yang membantu kami. Saya kaget, karena dalam waktu tidak terlalu lama, bantuan berupa semen, kayu dan atap seng sudah kami terima”, Kata Sima

Ia juga merasa senang karena ada warga yang menghibahkan sebidang tanah untuk pembangnan sekolah mereka.

Hingga saat ini, ada sejumlah 24 murid yang ia ajar di sekolah tersebut, mereka terbagi dalam 2 kelas yakni kelas 1 dan 2.

Meskipun demikian, ia masih berharap agar nasibnya dapat diperhatikan oleh pemerintah untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

”Saya juga berharap bisa jadi PNS, kalau ada kesempatan kuliah dan mempunyai uang yang cukup, saya juga mau” Pinta Sima.

Sebab saat ini, Sima hanya mendapat upah dari para warga yang anaknya sekolah di kelas jauh tersebut.

Kata Sima, meskipun tak digaji oleh masyarakat, ia akan tetap mengajar disekolah itu, sebab ia tak tega melihat anak-anak dusunnya buta huruf. Hanya karena akses pendidikan dari desanya yang terlalu jauh.

”Saya akan tetap mengajar, agar anak-anak disini tidak buta huruf”, Ungkap Sima (Sahril)

1 komentar:

sunaryo adhiatmoko mengatakan...

saya ingat ketika memutuskan membangun SD bu Sima ini di Kawere-were didukung warga desa. Senang jika sekolah yang saya terlibat membuatnya itu masih bermanfaat.

http://sunaryo-adhiatmoko.blogspot.com